Jual Beli Jazaf, Menjual Hutang Dengan Hutang
JUAL BELI JAZAF (TANPA DITIMBANG ATAU DITAKAR)
Oleh
Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy
Jual beli jazaf yaitu jual beli sesuatu tanpa mengetahui secara pasti takaran, timbangan atau jumlahnya, namun hanya dengan cara memperkirakan dan melihatnya dengan langsung.
Seperti jika seseorang berkata, “Barang-barang ini silahkan kalian beli!” Lalu si pembeli berkata, “Aku bersedia membeli semua barang-barang ini berikut isinya dengan harga seratus.” Padahal ia tidak mengetahui secara pasti takaran atau timbangannya, ataupun jumlahnya.
Jual beli ini hukumnya boleh.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الصُّبْرَةِ مِنَ التَّمْرِ لاَ يُعْلَمُ كَيْلُهَا بِالْكَيْلِ الْمُسَمَّى مِنَ التَّمْرِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual setumpukan kurma yang belum diketahui timbangannya dengan kurma yang sudah diketahui timbangannya.”
Dalam hadits ini ada penjelasan tentang bolehnya menjual kurma tanpa ditimbang terlebih dahulu jika harganya berupa uang, karena jika harga untuk kurma tersebut berupa kurma yang sejenis, maka jual belinya menjadi haram karena di sana ada unsur riba fadhl, karena kurma termasuk ashnaf ribawiyyah (barang-barang yang rentan terjadi padanya unsur riba) dalam jual beli.
Contohnya seperti menjual emas dengan emas atau menjual perak dengan perak ataupun yang lainnya dari barang-barang yang sering terkena unsur riba, maka tidak boleh menjual barang-barang ini dengan barang yang sejenis dengannya tanpa ditakar dan ditimbang terlebih dahulu karena dikhawatirkan adanya tambahan atau kelebihan pada salah satu dari dua barang yang ditukar tersebut yang tidak ada pada salah satu yang lainnya.
Jama’ah (imam hadits) kecuali at-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
كَانُوْا يَتَبَايَعُوْنَ الطَّعَامَ جُزَافًا بِأَعْلَى السُّوْقِ فَنَهَاهُمُ الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعُوْاحَتَّى يَنْقُلُوْهُ.
“Mereka (para Sahabat) biasa melakukan jual beli makanan (gandum dan sebagainya) di tengah-tengah pasar tanpa ditimbang dan ditakar terlebih dahulu, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meraka untuk menjual makanan tersebut sampai mereka memindahkannya (ke tempat yang lain).”
Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya jual beli barang tanpa ditimbang dan ditakar terlebih dahulu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan mereka melakukan jual beli yang demikian, namun beliau melarang mereka dari jual beli sesuatu yang sudah mereka beli sebelum mereka menerimanya.
Ibnu Qudamah berkata, “Boleh melakukan jual beli setumpukan barang tanpa ditimbang dan tanpa ditakar terlebih dahulu, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah ini walaupun penjual dan pembeli tidak mengetahui kadarnya secara pasti.”
MENJUAL HUTANG DENGAN HUTANG
Menjual hutang dengan hutang yaitu apabila barang dan harganya sama-sama ditangguhkan sampai batas waktu tertentu.
Jual beli seperti ini tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab Syarh Ma’aanil Aatsaar dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِى بِالْكَالِى.
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual hutang dengan hutang.”
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan di dalamnya ada kelemahan. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim berdasarkan syarat Muslim.
Misalnya, Ahmad memiliki seekor kambing yang dihutangkan kepada ‘Abdullah, lalu keduanya bersepakat bahwa ‘Abdullah akan menyerahkan kambing tersebut kepada Ahmad setelah lewat satu tahun. Lalu Ahmad menjual kambing yang dihutangkan itu kepada orang lain seharga satu dinar dan ia akan menerima uangnya dari si pembeli setelah lima bulan yang akan datang (dengan cara dihutangkan pula), dan begitu selanjutnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa menjual hutang dengan hutang adalah menjual sesuatu yang masih ada dalam tanggungan dengan harga yang ditangguhkan kepada orang yang berhutang kepadanya atau hutang tersebut dialihkan dan belum diterima.
Hadits ini menunjukkan dengan jelas akan haramnya jual beli ini. Dan para ulama pun berpendapat tentang tidak bolehnya jual beli ini sebagaimana yang diceritakan oleh Ahmad dan puteranya, ‘Abdullah serta yang lainnya.
JUAL BELI SETELAH ADZAN PADA HARI JUM’AT
Jual beli ini hukumnya haram bagi orang yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at setelah adzan kedua yang menandakan bahwa imam sudah duduk di atas mimbar. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [Al-Jumu’ah/62: 9]
Secara zhahir ayat ini berisi pengharaman, karena jual beli pada waktu tersebut akan menyibukkan seseorang dari shalat, bahkan bisa menjadi penyebab bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan shalat secara keseluruhan ataupun sebagiannya.
Para ulama رحمهم الله berkata, “Larangan mengharuskan atau menunjukkan rusaknya suatu akad.”
[Disalin dari Kitab Al-Buyuu’: Al-Jaa-izu minhaa wa Mamnuu’ Penulis Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, Judul dalam Bahasa Indonesia Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang, Penerjemah Ruslan Nurhadi, Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4034-jual-beli-jazaf-menjual-hutang-dengan-hutang.html